Senin, 14 Desember 2015

PERI CINTA




aku untuk kamu, kamu untuk aku
namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
tuhan memang satu, kita yang tak sama
haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi
(Peri Cinta - Marcell Siahaan)
Lagu itu mengalun begitu saja saat saya tengah berada di dalam sebuah ruangan kedap suara, Seorang teman menyanyikan lagu itu dengan penuh penghayatan, dia bernyanyi dengan memejamkan matanya, sungguh penghayatan yang luar biasa teman. Saya benci dengan situasi seperti ini, situasi dimana saya harus kembali coba sadar dalam dunia nyata. Saya harus mengubur cinta saya kepadanya dalam-dalam, berbeda keyakinan adalah benteng tertinggi yang harus di lalui.
Ini bukanlah kisah tertang dua orang saling mencintai yang berbeda keyakinan, ini adalah kisah seorang gadis yang berlahan mundur tanpa mau bersusah payah melewati benteng yang menjulang tinggi di depannya. Saya bukanlah seorang pejuang yang baik dalam cinta, beberapa kali saya gagal dalam mempertahankan sebuah hubungan. Saya lebih memilih berdamai dengan takdir dan melepaskan orang-orang yang dulu saya sayangi dari pada berjuang bersama.
Saat saya masih dalam kandungan, saya sudah terbiasa di dengarkan lantunan ayat-ayat suci al-qur’an. Saat saya lahir dengan bangganya bapak mengadzani di dekat telinga saya. Saat saya mulai sekolah orang tua mulai mencarikan sekolah yang mengandung unsur-unsur islami. Saat saya dewasa orang tua tak henti-hentinya mengingatkan saya untuk menunaikan kewajiban sebagai orang yang beriman. Bagi saya agama yang di turunkan lewat keturunan oleh orang tua saya adalah warisan yang paling berharga yang saya miliki. Sebisa mungkin saya akan menjaga, asset yang besarkan tentu banyak godaan dan cobaanya. Seperti cinta beda agama. Ku tinggalkan dia karena DIA.
Kita bukan Istiqlal dan Katedral, yang ditakdirkan berdiri berhadapan dengan perbedaan, namun tetap harmonis. Jika mereka punya nyawa, siapa yang tau kalau mereka berdua saling jatuh cinta?
masing-masing dari mereka begitu indah, setidaknya selama lebih kurang puluhan tahun bersanding, pasti ada saling puji diantara mereka. Mungkin terjadi saat malam hari, saat semua orang sedang sibuk bermimpi.

Mereka mungkin saling menangis, saat tau masing-masing dari penghuni bersiteru. Saling menghakimi dan merasa paling benar. Padahal keindahan dari masing-masing kepercayaan tidak ada yang salah.
( Artasya Susdirman – Istiqlal dan Katedral)

*maaf jika tulisan ini mengandung agama, saya berusaha dalam menulis ini dengan jujur sesuai dengan apa yang perasaan saya rasakan, maaf bila ada kata-kata yang kurang baik atau menyinggung pihak manapun. Saya menulis cerita ini karena saya ingin berbagi pengalaman lewat tulisan*